Wednesday, September 14, 2016

BRANDAL IMAN

Udara malam membuatku keluar dari rumah. Pergi nongkrong dengan anak-anak yang tak ada pekerjaan bagi mereka. Yang tak ada kata sekolah bagi mereka. Karena berganti-gantinya kurikulum yang tak menentu dan tak membuat mereka menjadi pandai, tapi membuat pikiran mereka tambah pusing. Dan juga disertai biaya sekolah yang terus naik tiada henti, membuat mereka tak bisa membayarnya. Karena mereka berada dalam keluarga yang kurang mampu. Toh kalau mungkin ada bantuan hanya sekelumit. Mereka hanya bisa mencari jati diri mereka sendiri, tanpa sentuhan kelompok lain yang mereka anggap merugikan.
                Tetapi terhadap masalah keagamaan mereka masih memperdalamnya kepada seorang ustadz di kampung sebelah mereka. Banyak orang yang menganggapnya orang yang tak bermoral. Oleh karena itu mereka lebih suka menganggap dirinya sebagai Brandal Iman.
                Kadangkala aku memberi mereka buku-buku motivasi yang aku beli di pameran buku murah yang diadakan di tengah kota. Supaya mereka mempunyai semangat hidup yang kuat.
***
                Dendang nyanyian yang selalu mereka lantunkan dengan riang gembira terdengar indah. Tak hanya itu, kobaran api kecil yang menyala di depan mereka membuat suasana malam menjadi lebih hangat. Tak ada rasa kantuk yang bergelantungan di mata mereka. Hanya bernyanyi riang tuk menghilangakan rasa kepenatan hidup yang di rundung kemiskinan.
                Perlahan-lahan kuhisap batang rokokku yang masih terjepit diantara jari tangan kiriku. Dengan mengayuh sepeda gunung yang biasa kubawa ke bekerja, menyusuri jalan sepi yang diapit oleh pepohonan yang berjajar rapi nan rindang. Tak luput, sinar purnama yang mengintipku dari balik dedaunan, yang menambah hangat dari rokok dan mengharumkan asapnya yang ku hembuskan perlahan-lahan mengikuti udara malam.
                Sayup-sayup terdengar nyanyian-nyanyian yang di dendangkan para kaum pinggiran dengan riang gembira, meskipun dengan alat apa adanya.
                Tinggal beberapa meter lagi aku sampai. Keheningan malam membuat suara itu tambah jelas. Diiringi gendang yang dimainkan Gunawan menambah meriahnya malam-malam sunyi.
                “Hai Aldi!, kemana aja kau ini, kok baru datang,” tanya sugi sambil mengangkat tangannya yang kurus dan panjang, ketika aku muncul dari balik pohon besar.
                “Tadi di rumah lagi ada urusan,”jawabku malas.
                Gunawan, Irfan, Thohar dan yang lainnya melihatku dengan seksama. Karena tak biasanya sikapku yang cuek dan malas seperti itu. Tapi aku segera mengubah suasana agar menjadi riang seperti semula. Mereka pun kembali bersikap biasa dan berrnyanyi kembali.
***
                Lagu per lagu sudah terlewatkan dengan makan ketela yang dibakar. Sesekali menyulut rokok di hadapan api yang berjoget ria tuk menghangatkan badan dari dinginnya malam yang semakin larut dimakan waktu.
Hidup sederhana
Tak punya apa-apa tapi banyak cinta
Hidup bermewah-mewahan
Punya segalanya tapi sengsara
Seperti para koruptor
Seperti para koruptor
Lagu yang sering di lantunkan Slank begitu pas mewakili kegelisahan mereka. Aku hanya diam memandangi api yang setia memancarkan sinarnya. Meresapi lagu yang tak melenceng dari kehidupan nyata saat ini. Semua yang kaya dibingungkan hartanya, tak peduli orang-orang dibawahnya yang meregang nasib, menahan lapar dan kesengsaraan.
                Begitupun yang punya jabatan di bingungkan jabatannya sendiri. Karena tak mengenal etika sebagai seorang yang memimpin atau tak kuat godaan yang selalu berada di hadapannya. Hanya orang sadar yang bisa hidup tenang.
                Semua anak yang berkumpul bersamaku disini tak menginginkan hidup dengan serba wah. Karena mereka beranggapan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara.
***
                Seperti kata pepatah Jenny Teichman yang penah kudengar, jika hidup ini adalah ganjaran yang dapat di beli dengan uang, maka orang kaya mau hidup dan orang miskin mau mati. Hal seperti itu sangat menyedihkan bila benar-benar terjadi, tak ada keimanan di hati manusia. Dan para pemegang kursi kekuasaan akan lebih berbahaya daripada sekarang yang telah terjadi. Ah, sungguh ironis, hatiku berbicara sendiri saat temanku yang lain asyik bernyanyi.
                “Hei teman kenapa kau hanya diam?,” tanya sugi.
                “Jangan diam saja!, mari berdendang!” lanjutnya.
***
                Empat jam lebih sudah lewat begitu saja. Jam tanganku sudah menujukkan pukul 00.10 WIB. Kami semua bersiap diri untuk kembali kerumah masing-masing tuk merangkai kehidupan di hari esok.
Sayonara sayonara
Sampai berjumpa pulang
Buat apa susah
Buat apa susah
Susah itu tak ada gunanya
Kami bernyanyi sekali lagi untuk menutup perjumpaan kami. Lagu yang biasa dinyanyikan anak TK untuk membuat hati mereka merasa bahagia. Seperti kami juga. Selesai menyanyikan lagu wajib kami, kami langsung berdiri dan berjabat tangan di atas api yang sudah mulai meredup.
                “Aldi, jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai dirimu mengalami seperti yang kami alami! Sampai besok” pesan sugi ketika aku beranjak naik sepeda.
Kepalaku mengangguk dan tersenyum. Aku pulang sendirian, sementara mereka berjalan kaki bersama-sama.
* Penulis adalah siswa kelas XI Bahasa I dan pemenang Karya Favorit LMCR Rohto Mentholatum Golden Award 2011.
* Pernah dimuat di buletin El Insyaet, MA NU TBS KUDUS

2 komentar

Tulis komentar