Oleh: Fuad Lathif
Saat ini keadaan politik kita sudah gamblang
di mata masyarakat. Yaitu politik yang tak dapat memberi
teladan dan tak mempunyai rasa amanah yang tinggi. Dan rasa
kejengkelan masyarakat yang memuncak pun sudah tak bisa dijadikan sebagai obat.
Para mahasiswa, profesor, ataupun yang lebih tinggi posisinya, sudah banyak yang
menuliskan isi hati mereka di berbagai
media masa. Saking banyaknya, tulisan-tulisan tersebut memicu kalangan lain untuk
menyampaikan uneg-unegnya.
Di negara tercinta kita, Indonesia, mempunyai
semboyan yang sangat ‘adil’ dan ‘bijaksana’. Sejak usia sekolah dasar kita
sudah di perkenalkan oleh guru kita. Itulah semboyan yang disebut dengan BhinekaTungal
Ika, yang mempunyai arti, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
***
Seperti penjelasan yang telah di uraikan penulis
diatas. Bahwa negara kita ini mempunyai semboyan yang —secara tidak langsung—
menunjukan kalau negara ini terdiri dari berbagai bentuk manusia, suku, agama, ras,
etnis dan lain sebagainya.
Dan disini penulis merupakan kalangan yang mengaku
‘diangggap’ banyak orang—kalangan menengah ke bawah. Berkeinginan untuk memberi
sedikit pepeling kepada segenap pembaca yang budiman.
Kalau melihat keadaan sebuah bentuk kenegaraan
kita rasanya tidak pas dengan bentuk semboyan dan dasar negara yang sudah ada. Hal
ini perlu diketahui penyebabnya. Apakah karena sistem pendidikannya atau orang
yang di didik?
PAKAI SISTEM PESANTREN
Kalau melihat sejarah yang sudah terukir.
Sistem pendidikan pertama kali di Indonesia adalah sistem pendidikan pesantren,
yang telah dirintis oleh Sunan Ampel Raden Rohmatullah, pesantren Ampel Denta.
Semakin berjalannya waktu banyak santri-santri yang telah lulus, lalu mereka kembali
ke rumah masing-masing dan membangun sebuah pesantren. Mulai dari situlah sistem
pendidikan pesantren mulai menyebar ke berbagai pelosok daerah. Dan akhirnya banyak
pesantren yang bertebaran di Nusantara.
Tapi keadaan berkata lain. Meskipun sudah
banyak pesantren yang berdiri, sistem pendidikan pesantren malah tergerus dengan
sistem pendidikan barat yang di jadikan sebagai peraturan negara.
Coba kita alihkan perhatian kita sebentar
terhadap sistem pendidikan saat ini. Sebuah sistem atau program yang telah
membius banyak orang untuk terus mengikuti langkahnya. Tapi hal itu banyak
menyebabkan jalan pikiran masyarakat buntu.
Sistem pendidikan yang sudah menjamur dalam
masyarakat kita, atau yang sering disebut dengan pendidikan formal, perlu di pelajari
ulang tentang sistem kerjanya. Karena dari berbagai lembaga pendidikan sudah ada
yang menjadikannya sebagai lahan bisnis, belajar mengajar hanya sebagai cover
depan lembaga tersebut. Dari penyebab itulah banyak dari kalangan
masyarakat yang nggersulo untuk menyerahkan anaknya ke sekolah ataupun
sebuah universitas.
Kalau keadaan pendidikan di negara ini terus
di bayang-bayangi dengan hal-hal seperti diatas, maka dengan sebentar kita akan
menemui sebuah kerusakan. Karena kita akan di pimpin oleh orang-orang
matrealistis. Tak mempunyai rasa sayang terhadap sesama.
Selain itu, banyak orang yang menjalani
pendidikan formal hanya karena sebuah gelar, pangkat atau ijazah. Tak banyak
yang menjalaninya dengan keikhlasan hati untuk mendapatkan ilmu. Kejadian
inilah yang membentuk masyarakat di negara ini menjadi pintar secara ’nyata’ tetapi,
dalam kesehariannya seperti sapi yang menarik gerobak tak mengetahui isinya.
***
Sebaiknya kita perlu menengok sebentar sebuah
sistem pendidikan yang telah sedikit disinggung penulis tadi. Yaitu sistem
pendidikan yang pertama kali dirintis oleh Raden Rohmatullah.
Dalam dunia pesantren tak ada yang namanya
ijazah atau pangkat. Sebutan kyai terhadap seseorang tidaklah pemberian dari
pesantren. Nama atau gelar kyai yang memberikan adalah masyarakat sendiri. Tak
ada lulusan pesantren, langsung membawa pulang gelar kyai. Karena banyak dari lulusan pesantren yang tidak menjadi kyai. Tapi ada yang
menjadi pengusaha, penulis ataupun yang lainnya.
Jadi kita sudah mengerti, bahwa sistem
pendidikan di negara kita perlu di rehab. Karena pendidikan merupakan hal yang
sangat vital untuk masa depan sebuah negara. Dengan pendidikanlah SDM kita akan
menjadi lebih baik.
AKHLAQ BAGI PELAJAR
Satu hal lagi yang perlu untuk di perhatikan.
Yaitu tatakrama yang harus di jalankan didalam kegiatan belajar mengajar
ataupun diluarnya. Hal ini sangat penting, karena apabila tak ada rasa hormat
terhadap guru dalam belajar mengajar, maka hati seorang guru akan tersakiti.
Dalam sebuah kitab, Ta’limul Muta’allim
karya Syekh Ibrahim bin Ismail, menjelaskan kalau seorang murid telah
menyakiti seorang guru, maka dia tidak akan mendapatkan barokah dan manfaat
ilmu kecuali sangat dan sangat sedikit.
Pemerintah dan masyarakat pun harus jeli dalam
memahami HAM. Sebatas mana HAM berlaku. Di rumah, sekolah atau yang lainnya itu
harus ada batasan tertentu. Jangan asal menuding orang melanggar HAM. Kalau
benar jangan di salahkan, begitupun sebaliknya.
Walhasil, semua aspek kehidupan di negara ini perlu di
perhatikan dengan teliti. Terutama dalam masalah pendidikan dan akhlaq yang karimah.
Wallahu A’lamu Bisshowab.