Mbah Basyir, sosok kiai yang masyhur sebagai mujiz (pemberi ijazah) Dalail al Khairat. Mbah Basyir adalah santri dari Mbah Yasin, guru yang sangat dimuliakan. Sebagai santri, penghargaan terbesar akan selalu diberikan kepada sang guru yang telah mencurahkan segenap ilmu dan kasih sayangnya.
Berkah Pengabdian Kepada Guru
Bagi Mbah Basyir, beliau tidak akan bisa seperti sekarang tanpa berkah dan restu Mbah Yasin, sebagaimana yang Mbah Basyir jelaskan kepada para santri suatu ketika pengajian Riyadl as-Shalihin; “Aku iso ngeniki sebab guruku, sebab pas guruku sedo, aku dipasrahi kitab karo buku ijazah.”
Bagi Mbah Basyir, kisah pengabdiannya kepada Mbah Yasin bukan apa-apa, kecuali hanya setitik kisah kecil yang mengantarkannya menjadi pengemban amanah, menjadi mujiz Dala’il al-Khairat. Jika hal itu dikatakan sebagai hasil jerih payah Mbah Basyir belajar dan mengabdi, rasanya tidak berimbang. Amanah menjadi mujiz yang diletakkan di pundaknya benar-benar murni anugerah dari Allah.
Alasan Mbah Yasin waktu itu menyerahkan buku berisi ijazah dan khizib tidak ada yang tahu. Yang pasti, untuk seorang arif sekelas Mbah Yasin, beliau memiliki pertimbangan tersendiri yang mungkin tidak dapat dinalar orang-orang awam. Namun, alasan dlahir yang tersurat dari kalimat Mbah Yasin adalah; “Sebab Basyir seng kuat riyadloh, betah ngeleh.” (Soalnya, Basyir yang kuat riyadlah (tirakat), tahan lapar).
Awalnya, Memberi Ijazah Adalah Proses Sulit
Mendapat amanah dari sang guru tidak lantas membuat Mbah Basyir seenaknya sendiri dalam memberikan ijazah. Pasca wafatnya Mbah Yasin, orang-orang berdatangan untuk meminta ijazah kepada Mbah Basyir. Antara takut dan sungkan, Mbah Basyir merasa dia masih jauh jika harus memberi ijazah dan lakon spiritual yang dulu adalah maqam Mbah Yasin. Tapi Mbah Basyir berusaha bertahan, karena dalam hatinya, beliau yakin bahwa ini adalah amanah besar dari sang guru yang harus ia jalankan.
Mbah Basyir pun memberanikan diri memberi ijazah, meskipun harus melalui proses yang cukup sulit. Beliau harus melakukan istikharah dan wirid untuk memberi satu ijazah. Paling tidak butuh tujuh hari tujuh malam. Proses ini sangat penting untuk mengetahui apakah orang yang meminta ijazah itu sudah siap lahir dan batin. Karena Mbah Basyir sadar, waktu itu beliau bukanlah Mbah Yasin yang kasyaf dan arif, yang sekali melihat orang langsung weruh bagaimana niatnya.
Selesai dengan istikharah yang teka-teki, khusus Dala’il al–Khairat, Mbah Basyir tidak berani memberi ijazah langsung, beliau akan mengantarkan santri yang meminta ijazah ke Pondowan, sowan Kiai Muhammadun untuk meminta ijazah pada beliau. Begitu terus ketika ada orang yang meminta ijazah Dala’il al–Khairat, sampai suatu ketika Kiai Muhammadun berkata pada Mbah Basyir: “Kiai Basyir, wiwit sak niki sampean paring ijazah piambak, mboten perlu sowan mriki. Mangke mesakke sampean saben wonten santri nyuwunn ijazah kedah riwa-riwi mriki”, (Kiai Basyir, mulai sekarang, sampean boleh memberi ijazah sendiri. Kasihan sampean kalau setiap ada santri yang meminta ijazah harus mondar-mandir ke sini).
Tirakat Cinta
Sebagaimana shalawat pada umumnya, Dala’il al–Khairat juga mengandung unsur ibadah, dan tujuan ibadah tak lain adalah taqarrub ilallah, mendekatkan diri pada Allah.
Selain itu, Dala’il al–Khairat juga menjadi media pengungkapan rasa cinta pada baginda rasul Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam, melalui tirakat cinta membaca shalawat yang terangkum dalam Dala’il al–Khairat. Sehingga Dala’il al–Khairat ini sangat cocok bagi siapa saja yang mengidam-idamkan syafaat Rasulullah, mencintai Rasulullah.
Seperti yang diterangkan Mbah Basyir dalam kitab yang ditashihnya, Nail al–Mushirrat fi Tashihi Dala’il al–Khairat, beliau menjelaskan kandungan sebuah hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi dan Ibnu Hibban, bahwa orang yang paling utama bersama Rasulullah kelak di hari kiamat adalah mereka yang paling banyak memebaca shalawat kepada Rasulullah.
Keterangan hadis ini memberikan indikasi penting, bahwa seorang ahli shalawat adalah orang yang dicintai Rasulullah, kekasihnya. Ia dicintai karena telah tulus, ikhlas mencintai Rasulullah yang diungkapkan melalui shalawat, di antaranya Dala’il al–Khairat.
Enome Riyalat, Tuwane Nemu Derajat
Selain merupakan ungkapan cinta pada Rasulullah, ritual puasa Dalail juga menjanjikan reward bagi pelakunya. Seseorang yang tulus mengamalkan Dala’il al–Khairat akan memperoleh hikmah atas amalan yang dilakoninya, karena setiap yang menanam akan memanennya.
Dalam bahasa Syaikh Sulaiman al-Jazuli, pengarang Dala’il al–Khairat, ganjaran ini beliau sebut dengan Maa Tabtaghi, sebagaimana dalam potongan syairnya; Bidala’il al–Khairat kun mutamassikan, walzam qir, walzam qira’ataha tanal maa tabtaghi, (Berpegang tegunglah dengan Dala’il al–Khairat serta langgengkanlah membacanya, kamu akan memperoleh apa yang kamu cari).
Dan Mbah Basyir, untuk membakar semangat para santri dalam mengamalkan Dala’il al–Khairat serta riyadlah puasa sering kali menggunakan kata motivasi yang melekat: “Enome Riyalat, Tuwane Nemu Derajat.” Kalimat ini seakan telah menjadi ruh yang mengobarkan semangat riyadlah para santri yang melakoninya.
Madrasah Moral dan Manajemen Nafsu
Dala’il al–Khairat dengan puasa adalah dua ritual yang berbeda. Dala’il al–Khairat merupakan rangkaian zikir shalawat, sementara puasa adalah cara tazkiyah an–nafsi (menyucikan jiwa). Dan dua konsep ini diintegrasikan dalam laku puasa Dala’il al–Khairat.
Konsepsi puasa Dala’il al–Khairat yang disajikan secara integral, antara wirid, shalawat dan puasa dahr itu secara sendirinya menjadi ‘menu’ ritual yang efektif bagi internalisasi pendidikan moral. Pengamal puasa Dala’il al–Khairat menjalani ritual yang memiliki atsar (dampak) yang positif. Lisan dan hatinya berzikir, badannya berpuasa.
Selain itu, dengan puasa Dalail, seseorang akan terbiasa hidup dengan keteraturan, berbuka sahur dan kontinuitas wirid shalawat. Dan juga akan menginspirasi kepedulian sosial, sebab sebuah lingkungan yang mentradisikan puasa dengan sendirinya akan tercipta toleransi yang sinergis antar individu.
Pun dengan puasa Dala’il al–Khairat, seseorang akan lebih mudah untuk menahan hawa nafsunya. Sebab setan sebagai promotor utama hawa nafsu menggoda manusia melalui syahwat-syahwat duniawi, dan syahwat akan semakin besar jika diberi asupan makanan.
Semoga kita dapat meneladani dan mengamalkan Dala’il al–Khairat demi mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam.
[Adi Ahlu Dzikri;
dikutip dari Majalah Manhaj, terbitan PP. Darul Falah]
Dan dari Sumber lain.
Berkah Pengabdian Kepada Guru
Bagi Mbah Basyir, beliau tidak akan bisa seperti sekarang tanpa berkah dan restu Mbah Yasin, sebagaimana yang Mbah Basyir jelaskan kepada para santri suatu ketika pengajian Riyadl as-Shalihin; “Aku iso ngeniki sebab guruku, sebab pas guruku sedo, aku dipasrahi kitab karo buku ijazah.”
Bagi Mbah Basyir, kisah pengabdiannya kepada Mbah Yasin bukan apa-apa, kecuali hanya setitik kisah kecil yang mengantarkannya menjadi pengemban amanah, menjadi mujiz Dala’il al-Khairat. Jika hal itu dikatakan sebagai hasil jerih payah Mbah Basyir belajar dan mengabdi, rasanya tidak berimbang. Amanah menjadi mujiz yang diletakkan di pundaknya benar-benar murni anugerah dari Allah.
Alasan Mbah Yasin waktu itu menyerahkan buku berisi ijazah dan khizib tidak ada yang tahu. Yang pasti, untuk seorang arif sekelas Mbah Yasin, beliau memiliki pertimbangan tersendiri yang mungkin tidak dapat dinalar orang-orang awam. Namun, alasan dlahir yang tersurat dari kalimat Mbah Yasin adalah; “Sebab Basyir seng kuat riyadloh, betah ngeleh.” (Soalnya, Basyir yang kuat riyadlah (tirakat), tahan lapar).
Awalnya, Memberi Ijazah Adalah Proses Sulit
Mendapat amanah dari sang guru tidak lantas membuat Mbah Basyir seenaknya sendiri dalam memberikan ijazah. Pasca wafatnya Mbah Yasin, orang-orang berdatangan untuk meminta ijazah kepada Mbah Basyir. Antara takut dan sungkan, Mbah Basyir merasa dia masih jauh jika harus memberi ijazah dan lakon spiritual yang dulu adalah maqam Mbah Yasin. Tapi Mbah Basyir berusaha bertahan, karena dalam hatinya, beliau yakin bahwa ini adalah amanah besar dari sang guru yang harus ia jalankan.
Mbah Basyir pun memberanikan diri memberi ijazah, meskipun harus melalui proses yang cukup sulit. Beliau harus melakukan istikharah dan wirid untuk memberi satu ijazah. Paling tidak butuh tujuh hari tujuh malam. Proses ini sangat penting untuk mengetahui apakah orang yang meminta ijazah itu sudah siap lahir dan batin. Karena Mbah Basyir sadar, waktu itu beliau bukanlah Mbah Yasin yang kasyaf dan arif, yang sekali melihat orang langsung weruh bagaimana niatnya.
Selesai dengan istikharah yang teka-teki, khusus Dala’il al–Khairat, Mbah Basyir tidak berani memberi ijazah langsung, beliau akan mengantarkan santri yang meminta ijazah ke Pondowan, sowan Kiai Muhammadun untuk meminta ijazah pada beliau. Begitu terus ketika ada orang yang meminta ijazah Dala’il al–Khairat, sampai suatu ketika Kiai Muhammadun berkata pada Mbah Basyir: “Kiai Basyir, wiwit sak niki sampean paring ijazah piambak, mboten perlu sowan mriki. Mangke mesakke sampean saben wonten santri nyuwunn ijazah kedah riwa-riwi mriki”, (Kiai Basyir, mulai sekarang, sampean boleh memberi ijazah sendiri. Kasihan sampean kalau setiap ada santri yang meminta ijazah harus mondar-mandir ke sini).
Tirakat Cinta
Sebagaimana shalawat pada umumnya, Dala’il al–Khairat juga mengandung unsur ibadah, dan tujuan ibadah tak lain adalah taqarrub ilallah, mendekatkan diri pada Allah.
Selain itu, Dala’il al–Khairat juga menjadi media pengungkapan rasa cinta pada baginda rasul Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam, melalui tirakat cinta membaca shalawat yang terangkum dalam Dala’il al–Khairat. Sehingga Dala’il al–Khairat ini sangat cocok bagi siapa saja yang mengidam-idamkan syafaat Rasulullah, mencintai Rasulullah.
Seperti yang diterangkan Mbah Basyir dalam kitab yang ditashihnya, Nail al–Mushirrat fi Tashihi Dala’il al–Khairat, beliau menjelaskan kandungan sebuah hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi dan Ibnu Hibban, bahwa orang yang paling utama bersama Rasulullah kelak di hari kiamat adalah mereka yang paling banyak memebaca shalawat kepada Rasulullah.
Keterangan hadis ini memberikan indikasi penting, bahwa seorang ahli shalawat adalah orang yang dicintai Rasulullah, kekasihnya. Ia dicintai karena telah tulus, ikhlas mencintai Rasulullah yang diungkapkan melalui shalawat, di antaranya Dala’il al–Khairat.
Kitab Nail al–Mushirrat fi Tashihi Dala’il al–Khairat |
Enome Riyalat, Tuwane Nemu Derajat
Selain merupakan ungkapan cinta pada Rasulullah, ritual puasa Dalail juga menjanjikan reward bagi pelakunya. Seseorang yang tulus mengamalkan Dala’il al–Khairat akan memperoleh hikmah atas amalan yang dilakoninya, karena setiap yang menanam akan memanennya.
Dalam bahasa Syaikh Sulaiman al-Jazuli, pengarang Dala’il al–Khairat, ganjaran ini beliau sebut dengan Maa Tabtaghi, sebagaimana dalam potongan syairnya; Bidala’il al–Khairat kun mutamassikan, walzam qir, walzam qira’ataha tanal maa tabtaghi, (Berpegang tegunglah dengan Dala’il al–Khairat serta langgengkanlah membacanya, kamu akan memperoleh apa yang kamu cari).
Dan Mbah Basyir, untuk membakar semangat para santri dalam mengamalkan Dala’il al–Khairat serta riyadlah puasa sering kali menggunakan kata motivasi yang melekat: “Enome Riyalat, Tuwane Nemu Derajat.” Kalimat ini seakan telah menjadi ruh yang mengobarkan semangat riyadlah para santri yang melakoninya.
Madrasah Moral dan Manajemen Nafsu
Dala’il al–Khairat dengan puasa adalah dua ritual yang berbeda. Dala’il al–Khairat merupakan rangkaian zikir shalawat, sementara puasa adalah cara tazkiyah an–nafsi (menyucikan jiwa). Dan dua konsep ini diintegrasikan dalam laku puasa Dala’il al–Khairat.
Konsepsi puasa Dala’il al–Khairat yang disajikan secara integral, antara wirid, shalawat dan puasa dahr itu secara sendirinya menjadi ‘menu’ ritual yang efektif bagi internalisasi pendidikan moral. Pengamal puasa Dala’il al–Khairat menjalani ritual yang memiliki atsar (dampak) yang positif. Lisan dan hatinya berzikir, badannya berpuasa.
Selain itu, dengan puasa Dalail, seseorang akan terbiasa hidup dengan keteraturan, berbuka sahur dan kontinuitas wirid shalawat. Dan juga akan menginspirasi kepedulian sosial, sebab sebuah lingkungan yang mentradisikan puasa dengan sendirinya akan tercipta toleransi yang sinergis antar individu.
Pun dengan puasa Dala’il al–Khairat, seseorang akan lebih mudah untuk menahan hawa nafsunya. Sebab setan sebagai promotor utama hawa nafsu menggoda manusia melalui syahwat-syahwat duniawi, dan syahwat akan semakin besar jika diberi asupan makanan.
Komplek makam Mbah Basyir |
Semoga kita dapat meneladani dan mengamalkan Dala’il al–Khairat demi mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam.
[Adi Ahlu Dzikri;
dikutip dari Majalah Manhaj, terbitan PP. Darul Falah]
Dan dari Sumber lain.
Bagikan
Mbah KH. Achmad Basyir: Antara Tirakat, Derajat dan Dala'il al-Khairat
4/
5
Oleh
Admin