Mentari pagi begitu lembut menyinari para masyarakat yang mulai beraktivitas. Semua ruas jalan kota di padati banyak siswa, Edo anak kelas sebelas IPA1 yang bersekolah di SMA Bhayangkara sangat giat mengayuh onthelan sepeda dari rumahnya yang berada di pelosok desa ke kota. Meskipun dia terlahir dari keluarga yang pas-pasan, dia tetap bersemangat belajar di sekolah ternama dan terfavorit yang berada di kotanya. Dia pun tak merasa gengsi atau minder dengan anak kota yang berbeda jauh dengan dirinya. Rasa untuk membeda-bedakan pun tak terbesit dalam pikirannya yang polos, toh semua itu sama-sama manusia dari ciptaan Tuhan.
Pukul 06.30 WIB, Edo sudah sampai di kawasan rumah elite yang sering dia lewati untuk menuju sekolah dengan menyusuri terowongan dan perkampungan rumah –rumah istana yang tak dapat dia temukan di tempat tinggalnya. Edo masih berjalan lurus di perkampungan itu, dengan sepeda kuno dia melaju cepat dan belok ke kiri jalan, tepat di pertigaan dekat rumah yang paling megah diantara rumah-rumah istana yang berada di perkampungan itu, rumah yang selalu dia lewati ketika berangkat maupun pulang sekolah.
Pukul 06.50 Wib, bel sekolah telah berdentang. Edo sampai di sekolah tepat waktu, dengan gagah dan penuh percaya diri, dia berjalan menuju kelas.
Lima belas menit telah berlalu, tak ada guru yang masuk walaupun hanya sekedar ngabsen. Suasana kelas sangat ramai seperti pasar, para siswa bercakap-cakap soal ini dan itu.
Suasana kelas berubah panik, para siswa pun berlarian menuju tempat duduknya masing-masing saat melihat pak Sodikin yang berdiri tegap di bibir pintu kelas. Semua siswa tidak tenang malah berbisik-bisik dengan sebelahnya sendiri. Mereka penasaran dengan cewek yang berada di sebelahnya pak Sodikin, berbeda dengan Edo yang hanya diam saja karena di sampingnya memang tak ada orang. Dia duduk di bangku paling pojok. Wajahnya terlihat cuek dengan semua yang terjadi di kelas itu.
Dengan gaya culunnya, memakai kacamata bulat dan gigi tengahya yang sudah diganti dengan gigi palsu yang mengkilap. Pak Sodikin berjalan agak menjinjit menuju mejanya, cewek tadi berjalan membuntuti pak Sodikin dengan tertunduk.
”Pagi anak-anak!,” sapa pak Sodikin dengan suara cempreng, membuat geli telinga para siswa.
“Pagi pak guru!!!,” serentak semua siswa menjawab agak mengejek.
”Ehm…,Hari ini kita mendapatkan teman belajar baru, dia pindahan dari Surabaya, silahkan perkenalkan diri anda!,’’ lanjutnya dengan memandang semua siswa, lalu beralih kepada anak baru itu. Silvi, Adelia Yuli Silvi nama yang cukup bagus dan indah, batin Edo memandanginya. Pak Sodikin mempersilahkan Silvi duduk di bangku paling pojok, sebangku dengan Edo. Berpasang-pasang mata melihat Silvi yang begitu menawan berjalan menuju Edo, si anak kampungan. Edo tak merespon kepada Silvi yang sudah duduk di sampingnya, kecuali senyuman yang mengembang. Pak Sodikin memulai pelajaran, selain guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, beliau juga wali kelas Sebelas IPA1 ini. Semua siswa mengalihkan pemandanganya ke pak Sodikin, meskipun sedikit cuwek. Karena Setiap pelajaran tak luput dari kata HAM (Hak Asasi Manusia). Ketika ada murid yang kebetulan menulis atau tak memperhatikan, beliau langsung nerocos, yaitu dengan mengatakan hak asasi manusia, dia boleh berbuat semaunya. Kata-kata yang selalu membonsankan ketika pelajaran Pendidikan Kewarnegaraan berlangsung.
Istirahat tiba, bel berbunyi dengan suara khasnya. Semua siswa berhamburan keluar kelas. Entah mau kemana, mereka pergi kehendak mereka sendiri, ada yang ke kantin, perpustakaan atau sekedar ngobrol bersama teman. Dengan gaya sederhananya,Edo pergi ke perpustakaan sendirian. Tak ada yang menemani. Sesampainya di perpustakaan, Edo langsung mencari buku yang tertata rapi di rak buku. Bagi dia buku itu segalanya, kawan yang selalu menasehati, memberi petunjuk, pengetahuan di setiap kata yang tersusun dan kawan yang tak pernah mengkhianati sedikitpun. Pikiran Edo sudah berterbangan dengan buku yang sudah berada di tangannya. Hatinya bahagia seperti yang terlihat dari raut wajahnya yang ganteng, tapi tak terawat karena kepolosanya. Silvi yang baru datang, pusing mencari tempat, karena belum kenal dengan orang yang ada di perpustakaan itu. Pandangannya dia sebarkan ke seluruh sudut perpustakan. Pandanganya terhenti ketika melihat Edo yang terlihat serius membaca buku di sudut ruang Perpus. Dia berhenti sebentar memikirkan sosok yang serius di sudut ruangan itu. Dia belum begitu kenal kepada Edo yang satu bangku dengannya. Silvi terus memandangi Edo dan berjalan menuju Edo yang tak tahu situasi di sekitarnya, kecuali suara yang bisa dia tangkap dengan pendengarannya.
”Maaf..!,aku boleh duduk di sini?,” tanya Silvi yang sudah sampai di samping Edo. Edo hanya mengangguk lembut tanpa menoleh sedikitpun. Silvi duduk dengan perasaan agak ragu. Akhirnya Edo menoleh dan menebarkan senyuman manis miliknya. Dia kembali membaca buku dan tak memperhatikan di sekitarnya. Silvi hanya bisa membalas dengan senyuman dan membuka buku yang sudah berada di kedua tangannya. Mereka membaca buku di perpustakaan sampai istirahat selesai.
Sambil berjalan menuju kelas, Edo di temani Silvi yang begitu asing bagi dirinya. Mungkin dia anak baru dan Edo belum pernah di dekati cewek walaupun hanya sekedar berjalan bersama.
”Ee……ehmm!!!nama kamu siapa ya?,” tanya Silvi sambil mengulurkan tanganya, tapi ia urungkan dan memegang erat tanganya sendiri rasa malu pun terlihat dari wajah cewek itu.
”Edo…,”jawab Edo singkat tanpa pertanyaan balik. Karena Edo sudah tahu si cewek itu meskipun hanya namanya saja.
Suasana sekolah sudah mulai ramai. Memang waktu pulang sekolah sudah tiba. Sepanjang jalan trotoar depan sekolah di jejali siswa yang sedang berjalan atau menunggu tumpangan. Di samping itu, Edo sudah menunggangi sepeda untanya dan mengayuh dengan santai. Karena suasana jalan begitu ramai oleh kendaraan yang berlalu-lalang maupun siswa yang menyeberang jalan tanpa aturan.
Silvi pulang dengan berjalan kaki sendirian di trotoar. Melihat sosok Silvi yang berjalan sendirian, Edo langsung menghampiri dan menawarkan tumpangan
“Sil!!..ayo gue antar!,” ajak Edo kepada Silvi,
”Ndak ah!sudah dekat kok!,” Silvi mencoba menolak,
”Malu ya…!!!,” timpal Edo sambil melihat sepeda tuanya.
Silvi menggelengkan kepala dan tersenyum sambil berlalu beranjak duduk di belakang Edo. Tenaga Edo agak kewalahan mengayuh onthelan. Karena bertambahnya beban yang dia tanggung
“Memangnya rumahmu di mana Sil??...!,” Tanya Edo saat berjalan menyusuri jalanan yang mulai sepi tak seperti tadi,
”Di pertigaan situ!,” jawab Silvi datar.
”Ooo…!!,”Edo melongo dan langsung bersemangat mengayuh sepedanya, Karena sudah tahu letak pertigaan yang di maksud Silvi. Sepeda Edo yang berjalan lancar langsung membelok menuju jalan yang biasa Edo lewati ketika berangkat maupun pulang sekolah.
”Stop…. stop!!,”teriak silvi dengan menepuk pundak Edo dengan kuat. Sontak edo langsung ngerem mendadak.
”Mana rumahmu?,” tanya Edo sambil turun dari sepedanya.
”Itu…!,” tunjuk silvi ke rumah yang di anggap Edo seperti istana dan yang dia kagumi itu.
”Hhhmmm….!,” Edo mendengung tak jelas. Ternyata rumah yang di anggap istana dan yang dia kagumi itu milik teman sekelas sendiri.
Dengan rasa bangga mempunyai teman yang cantik dan kaya, Edo mengayuh sekuat tenaga sepeda kuno di bawah terik sinar matahari yang menyengat.
Pagi seperti biasanya yang selalu menawarkan udara segar dan embun –embun bening, tak luput dari kicauan burung yang bertengger di batang pohon sepanjang jalan menuju sekolah.
Apa ini?, gumam Edo ketika melihat amplop berwarna merah muda di kursinya. Tanpa pikir panjang langsung di ambil amplop itu dan di masukkannya ke dalam tas, takut ada orang yang curiga. Karena amplopnya berwarna cerah dan warna itu biasanya menjadi kesukaan cewek. Rasa penasaran masih menggelayuti pikiran Edo. Di lihatnya amplop itu, di tujukan kepadanya.
Bel berbunyi dengan keras. Mengagetkannya yang sedang berfikir. Siapa yang mengirim surat?, hatinya masih penasaran. Karena belum membukanya dan bel masuk pun sudah berdentang. Anak-anak berhamburan masuk kelas membuat Edo gelagapan untuk meletakkan amplop itu di sela-sela lembaran buku. Hati Edo pun menjadi curiga karena pada pagi ini juga Silvi tidak masuk tanpa izin. Pasti ada sesuatu dengan semua ini
Do! mungkin kamu penasaran dengan datangnya surat ini. Dua bulan aku sudah sekolah di SMA Bhayangkara. Di situ aku menemukan teman yang tulus dan baik hati. Di setiap senyumnya yang mengembang, selalu mendebarkan detak jantungku. Perkataannya yang slalu membuatku tuk lebih maju. Dia seperti mentari pagi yang slalu menyinari bumi yang masih menyimpan tetesan embun .Dia yang sederhana, tapi kaya akan jiwa ketulusan dan kemanusiaan. Dan dia teman yang ku kenal pertama di sekolah kita, yang kunanti ketulusan jiwanya tuk selalu mendampingi hatiku, menentramkan hati dan saling menyayangi. Dia adalah kau, Kau yang selalu menjadikan warna di kehidupkanku. Sebelum ku akhiri surat ini. Aku berharap semoga kau menerima dan mendampingi, menemani hatiku.
Pengharap Sentuhan Cinta
Adelia Yuli Silvi
Adelia Yuli Silvi
Selesai membaca surat dari Silvi, Edo terharu dan bangga bercampur dalam keadaan yang begitu tak ada harapan dan dugaan. Perpindahan Silvi ke sekolah ini sudah dua bulan, dia telah menjadi sahabat sekelas. Tak cuma sekelas, tapi juga sebangku. Di balik persahabatannya pun Silvi ternyata menyimpan rasa cinta yang begitu dalam, sampai-sampai tidak mau tuk menghadirkannya di hadapan Edo Secara langsung.
“Ed…edo!!,” teriak seorang cewek dari belakang Edo. Endah, teman perempuan Silvi waktu pertama kali masuk sekolah.
“Ada apa?,” tanya Edo kepada Endah yang terengah-engah mencari nafas.
”Ng…nganu…sakit Paru-parunya silvi kambuh lagi ya!,”balik Endah yang bertanya agak terbata-bata.
“Kamu dapat berita itu dari mana?!,” Edo tak menjawab tapi balik bertanya kepada Endah dengan nada penasaran. Endah menepuk-nepuk dadanya berusaha untuk menenangkan nafasnya yang mulai agak lancar.
”Tadi aku tahu dari tetangganya. Mila, kelas Sebelas IPA2 katanya sih baru tadi malam…!,” jawab Endah tenang.
Edo binggung, siapa yang menaruh surat di bangku ku?, batinya bertanya-tanya.
”Dan tadi mila juga bilang, kalo dia di titipi surat untukmu, sudah ya!,” lanjut Endah dan dia langsung pergi karena terburu-buru di panggil temanya. Pertanyaan batin Edo terjawabkan.
Perjalanan pulang begitu tenang. Tapi penasaran memburu Edo lagi ketika akan sampai di gerbang pintu rumah Silvi yang megah seperti istana itu. Gerbangnya terbuka lebar, sebuah mobil Mercedez Benz berwarna biru muncul dari mulut gerbang. Edo menangkap bayangan di jok belakang. Bayangan Silvi yang di apit oleh dua orang. Edo mengayuh sepedanya pelan sambil melihat bayangan Silvi.
”Edo….ed!,” teriak seorang laki-laki separuh baya ketika Edo akan masuk gang yang biasa Edo lewati sebagai jalan pintasnya. Edo mengernyitkan jidatnya dan berlalu menuju orang yang memanggilnya.
”Kamu Edo ya!,” tanya seorang laki-laki separuh baya yang berdiri di samping mobil.
”Ya!...ada apa?,” jawab Edo polos.
”Ayo!ikut aku!, bi!…bibi sini!,” ajak seorang laki-laki yang tak di kenal ed o sambil membuka pintu mobil dan memanggil orang yang masih berdiri di mulut gerbang.
”Tolong bi! sepedanya taruh di garasi, biar dia ikut aku,” perempuan itu mengangguk pelan dan menuntun sepeda Edo masuk gerbang rumah yang megah itu. Edo bingung memikirkannya. Kenapa bapak-bapak itu tahu namaku dan mengjakku untuk ikut masuk ke mobil yang di dalamnya terdapat Silvi yang terbujur lemas?, batinnya berucap. Mobil mulai melaju menuju rumah sakit.
Sesampai di Rumah Sakit Edo hanya berada di ruang tunggu bersama seorang bapak-bapak dan nenek. Semua terlihat cemas, tapi Edo malah kelihatan bingung. Mungkin karena dia tak tahu masalahnya.
”Memang silvi itu sakit apa pak?” tanya Edo pura-pura tidak tahu di sela-sela kecemasan yang memuncak. Karena tak ada dokter pun yang keluar tuk memberi tahu kondisinya.
”Tadi malam nafasnya tidak seperti biasanya dan suhu badanya sangat panas, terus tadi pagi dia muntah-muntah dan lama kelamaan wajahnya pucat sekali, terus mamanya takut kalo ada penyakit yang tambah pada Silvi, dia pun menyuruh untuk membawa ke dokter…..!”jelas seorang bapak-bapak tadi yang ternyata ayahnya Silvi. Percakapanya terputus, karena tak kuat meneruskan kejadian anaknya yang sedang sakit. Seorang dokter dengan wajah bahagia keluar dari ruang periksa.
”Alhamdulillah keadaannya baik-baik saja, cuma dia kurang istirahat dan membuat paru-parunya kambuh lagi,” terang dokter kepada ayah Silvi yang ingin tahu keadaan Silvi, tapi sebelum bertanya apapun, dokter sudah menjelaskan dulu. Bapak,ibu dan neneknya Silvi langsung masuk ruangan ketika sudah di persilahkan dokter, Edo hanya diam di bangku panjang depan ruang Silvi di rawat.
”Ed…edo!” panggil ayah Silvi sambil melambaikan tangan ke arah Edo dari pintu ruang rawat. Tanpa semangat sedikitpun Edo melangkah masuk.
“Ed…kau sudah membaca surat ku?,”tanya Silvi dengan nada yang lemas. Edo hanya mengangguk pelan. Keadaannya masih lemas dan tak bergairah sedikitpun. Silvi murung, pandangannya pindah keluar melewati jendela-jendela ruangan, Edo di tarik ayahnya Silvi agak menyingkir.
”Ed..!,bagaimana jawabanmu tentang surat yang di berikan Silvi untukmu?, sudah lama dia berencana untuk menyuratimu!.Dan, sehari sebelum Silvi menyerahkanya lewat Mila dia sudah sedih memikirnya, di terima atau tidak. Selama itu pun dia tak mau makan walau hanya sesuap. Dan akupun sudah mengetahui semuanya!” jelas ayah silvi setelah bertanya kepada Edo dengan nada yang naik turun.
”Sebetulnya saya ini dari keluarga yang tak seperti keluarga bapak dan aku ini orang biasa yang masih sebagai pelajar, tak lebih dari itu!,”jawab edo dengan nada sedatar mungkin.
”Saya tidak mengharapkan kekayaanmu atau keluargamu. Saya hanya berharap dengan setulus hatimu untuk anakku satu-satunya itu. Meskipun kau masih pelajar, kau boleh berbagi kasih kepada lawan jenis, asalkan tak keterlaluan dan masih menjaga norma dengan baik!”jelas ayah Silvi dengan nada yang pelan-pelan. Edo mengangguk dan menghampiri Silvi di samping ranjang.
*cerpen ini menjadi pemenang karya favorit pada LMCR Rohto Mentholatum Golden Award 2011
Bagikan
DERAJAT CINTA*
4/
5
Oleh
Admin