Pernahkah kita memikirkan santri dalam
sejenak?
Jawabannya
ada pada individu masing-masing. Saya tak mau menebak pendapat seseorang.
Karena manusia memiliki pikiran dan hawa nafsu.
Santri
merupakan sebuah ungkapan yang diberikan untuk seseorang yang belajar ilmu
agama di pesantren. Dan hal ini tak asing bagi sebagian warga Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, khusunya daerah kudus dan sekitarnya. Santri pun tak
pernah hengkang dari berjalannya sejarah. Karena santri sudah muncul sebelum Indonesia
merdeka, yaitu pada masa Walisongo.
Pesantren,
tempat santri belajar, pertama kali didirikan oleh sunan Ampel, bernama Ampel
Denta. Lembaga pendidikan inilah paling dahulu muncul dan mendidik masyarakat Indonesia.
Itupun tak hanya dalam waktu sekejap, tetapi berpuluh tahun selanjutnya, bahkan
sampai saat ini.
Kembali
pada pertanyaaan diatas, saya akan membuka sedikit tentang pikiran yang di
kepala saya.
Seiring
dengan berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan. Pemikiran seseorang malah
mengalami penurunan. Mereka hanya menggunakan rasio akal dan nafsu belaka. Akibatnya
banyak orang menginginkan sesuatu serba instan dan dianggap ‘wah’.
Hal
inilah yang perlu di perhatikan oleh ‘pendidikan’, karena ia merupakan “mesin
cetak” pikiran manusia. Semakin baik kualitasnya, maka semakin baik pula
pikiran manusia.
Kualitas
pendidikan janganlah diukur dengan sebuah gedung atau fasilitas yang serba
mewah. Tetapi kualitas pendikan haruslah diukur seberapa ia dapat menelurkan
peseta didik yang berakhlak dengan baik. Begitu juga dengan seorang guru. Ia
harus dapat dijadikan sebagai contoh dengan baik. Karena guru itu harus digugu
lan ditiru, bukan wagu lan saru.
***
Di
Indonesia banyak lembaga pendidikan yang berdiri. Saking banyaknya, persaingan
pun bermunculan. Ironisnya, persaingan berjalan ketat dan tidak sehat. Karena
mereka bersaing hanya sebatas bermegah-megahan gedung dan fasilitas, tapi isinya
kosong melompong, tak berbobot. Dan masyarakat kita pun terbius dalam ‘kesesatan’
intelektual. Mereka tidak bahagia kalau anaknya tidak belajar di lembaga formal.
Mereka tidak senang kalau anaknya tidak sekolah di lembaga bergengsi. Itulah
potret kecil kehidupan masyarakat. Mereka tak merasa senang kalau anaknya tidak
mendapatkan pelajaran yang menuntu nmereka menjadi manusia yang berakhlak dan
manusia yang taat pada-Nya.
Saya
disini tak memojokkan seseorang ataupun sesuatu, tetapi prihatin dengan keadaan
masyarakat yang tak dapat berpikir seimbang. Karena akhlak—ilmu agama— dan ilmu
keduniawian haruslah berjalan seimbang. Karena kita tidak hanya hidup di dunia,
tetapi harus menjalani kehidupan lagi setelah kita mati.
***
Sebaiknya
kita perlu menengok sebentar tentang pesantren. Lembaga yang sudah berdiri
sejak puluhan, bahkan ratusan tahun lalu, telah mencetak ulama’ dan orang-orang
hebat di Indonesia. Diantaranya, KH. Hasyim Asy ‘ari, KH. Kholil Bangkalan, KH.
Arwani Amin Kudus, KH. Turaikhan Adjhuri Kudus dan masih banyak lagi. Selain
para penggede agama pun ada, seperti Dahlan Iskan pemilik Jawa Pos. Dan
di kudus pun
ada, sepeti pak
Hilmy pemilik Mubarok Food. Dan semua itu berlatar belakang pesantren. Semua itu telah menunjukkan bahwa, pesantren itu pendidikan
multitalenta.
Seperti
itulah sedikit pikiran yang ada di kepala saya. Jadi jangan ragu bila anda seorang
santri atau mau terjun ke dunia pesantren. Semua pasti ada barokahnya.
Bagikan
PESANTREN ITU PENDIDIKAN MULTITALENTA
4/
5
Oleh
Admin