Tuesday, November 20, 2018

Mbah KH. Achmad Basyir: Antara Tirakat, Derajat dan Dala'il al-Khairat

Mbah Basyir, sosok kiai yang masyhur sebagai mujiz (pemberi ijazah) Dalail al Khairat. Mbah Basyir adalah santri dari Mbah Yasin, guru yang sangat dimuliakan. Sebagai santri, penghargaan terbesar akan selalu diberikan kepada sang guru yang telah mencurahkan segenap ilmu dan kasih sayangnya.

Berkah Pengabdian Kepada Guru

Bagi Mbah Basyir, beliau tidak akan bisa seperti sekarang tanpa berkah dan restu Mbah Yasin, sebagaimana yang Mbah Basyir jelaskan kepada para santri suatu ketika pengajian Riyadl as-Shalihin; “Aku iso ngeniki sebab guruku, sebab pas guruku sedo, aku dipasrahi kitab karo buku ijazah.”

Bagi Mbah Basyir, kisah pengabdiannya kepada Mbah Yasin bukan apa-apa, kecuali hanya setitik kisah kecil yang mengantarkannya menjadi pengemban amanah, menjadi mujiz Dala’il al-Khairat. Jika hal itu dikatakan sebagai hasil jerih payah Mbah Basyir belajar dan mengabdi, rasanya tidak berimbang. Amanah menjadi mujiz yang diletakkan di pundaknya benar-benar murni anugerah dari Allah.

Alasan Mbah Yasin waktu itu menyerahkan buku berisi ijazah dan khizib tidak ada yang tahu. Yang pasti, untuk seorang arif sekelas Mbah Yasin, beliau memiliki pertimbangan tersendiri yang mungkin tidak dapat dinalar orang-orang awam. Namun, alasan dlahir yang tersurat dari kalimat Mbah Yasin adalah; “Sebab Basyir seng kuat riyadloh, betah ngeleh.” (Soalnya, Basyir yang kuat riyadlah (tirakat), tahan lapar).

Awalnya, Memberi Ijazah Adalah Proses Sulit

Mendapat amanah dari sang guru tidak lantas membuat Mbah Basyir seenaknya sendiri dalam memberikan ijazah. Pasca wafatnya Mbah Yasin, orang-orang berdatangan untuk meminta ijazah kepada Mbah Basyir. Antara takut dan sungkan, Mbah Basyir merasa dia masih jauh jika harus memberi ijazah dan lakon spiritual yang dulu adalah maqam Mbah Yasin. Tapi Mbah Basyir berusaha bertahan, karena dalam hatinya, beliau yakin bahwa ini adalah amanah besar dari sang guru yang harus ia jalankan.

Mbah Basyir pun memberanikan diri memberi ijazah, meskipun harus melalui proses yang cukup sulit. Beliau harus melakukan istikharah dan wirid untuk memberi satu ijazah. Paling tidak butuh tujuh hari tujuh malam. Proses ini sangat penting untuk mengetahui apakah orang yang meminta ijazah itu sudah siap lahir dan batin. Karena Mbah Basyir sadar, waktu itu beliau bukanlah Mbah Yasin yang kasyaf dan arif, yang sekali melihat orang langsung weruh bagaimana niatnya.

Selesai dengan istikharah yang teka-teki, khusus Dala’il al–Khairat, Mbah Basyir tidak berani memberi ijazah langsung, beliau akan mengantarkan santri yang meminta ijazah ke Pondowan, sowan Kiai Muhammadun untuk meminta ijazah pada beliau. Begitu terus ketika ada orang yang meminta ijazah Dala’il al–Khairat, sampai suatu ketika Kiai Muhammadun berkata pada Mbah Basyir: “Kiai Basyir, wiwit sak niki sampean paring ijazah piambak, mboten perlu sowan mriki. Mangke mesakke sampean saben wonten santri nyuwunn ijazah kedah riwa-riwi mriki”, (Kiai Basyir, mulai sekarang, sampean boleh memberi ijazah sendiri. Kasihan sampean kalau setiap ada santri yang meminta ijazah harus mondar-mandir ke sini).

Tirakat Cinta

Sebagaimana shalawat pada umumnya, Dala’il al–Khairat juga mengandung unsur ibadah, dan tujuan ibadah tak lain adalah taqarrub ilallah, mendekatkan diri pada Allah.

Selain itu, Dala’il al–Khairat juga menjadi media pengungkapan rasa cinta pada baginda rasul Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam, melalui tirakat cinta membaca shalawat yang terangkum dalam Dala’il al–Khairat. Sehingga Dala’il al–Khairat ini sangat cocok bagi siapa saja yang mengidam-idamkan syafaat Rasulullah, mencintai Rasulullah.

Seperti yang diterangkan Mbah Basyir dalam kitab yang ditashihnya, Nail al–Mushirrat fi Tashihi Dala’il al–Khairat, beliau menjelaskan kandungan sebuah hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi dan Ibnu Hibban, bahwa orang yang paling utama bersama Rasulullah kelak di hari kiamat adalah mereka yang paling banyak memebaca shalawat kepada Rasulullah.

Keterangan hadis ini memberikan indikasi penting, bahwa seorang ahli shalawat adalah orang yang dicintai Rasulullah, kekasihnya. Ia dicintai karena telah tulus, ikhlas mencintai Rasulullah yang diungkapkan melalui shalawat, di antaranya Dala’il al–Khairat.
Kitab Nail al–Mushirrat fi Tashihi Dala’il al–Khairat


Enome Riyalat, Tuwane Nemu Derajat

Selain merupakan ungkapan cinta pada Rasulullah, ritual puasa Dalail juga menjanjikan reward bagi pelakunya. Seseorang yang tulus mengamalkan Dala’il al–Khairat  akan memperoleh hikmah atas amalan yang dilakoninya, karena setiap yang menanam akan memanennya.

Dalam bahasa Syaikh Sulaiman al-Jazuli, pengarang Dala’il al–Khairat, ganjaran ini beliau sebut dengan Maa Tabtaghi, sebagaimana dalam potongan syairnya; Bidala’il al–Khairat kun mutamassikan, walzam qir, walzam qira’ataha tanal maa  tabtaghi, (Berpegang tegunglah dengan Dala’il al–Khairat serta langgengkanlah membacanya, kamu akan memperoleh apa yang kamu cari).

Dan Mbah Basyir, untuk membakar semangat para santri dalam mengamalkan Dala’il al–Khairat serta riyadlah puasa sering kali menggunakan kata motivasi yang melekat: “Enome Riyalat, Tuwane Nemu Derajat.” Kalimat ini seakan telah menjadi ruh yang mengobarkan semangat riyadlah para santri yang melakoninya.

Madrasah Moral dan Manajemen Nafsu

Dala’il al–Khairat dengan puasa adalah dua ritual yang berbeda. Dala’il al–Khairat merupakan rangkaian zikir shalawat, sementara puasa adalah cara tazkiyah an–nafsi (menyucikan jiwa). Dan dua konsep ini diintegrasikan dalam laku puasa Dala’il al–Khairat.

Konsepsi puasa Dala’il al–Khairat yang disajikan secara integral, antara wirid, shalawat dan puasa dahr itu secara sendirinya menjadi ‘menu’ ritual yang efektif bagi internalisasi pendidikan moral. Pengamal puasa Dala’il al–Khairat menjalani ritual yang memiliki atsar (dampak) yang positif. Lisan dan hatinya berzikir, badannya berpuasa.

Selain itu, dengan puasa Dalail, seseorang akan terbiasa hidup dengan keteraturan, berbuka sahur dan kontinuitas wirid shalawat. Dan juga akan menginspirasi kepedulian sosial, sebab sebuah lingkungan yang mentradisikan puasa dengan sendirinya akan tercipta toleransi yang sinergis antar individu.

Pun dengan puasa Dala’il al–Khairat, seseorang akan lebih mudah untuk menahan hawa nafsunya. Sebab setan sebagai promotor utama hawa nafsu menggoda manusia melalui syahwat-syahwat duniawi, dan syahwat akan semakin besar jika diberi asupan makanan.
Komplek makam Mbah Basyir

Semoga kita dapat meneladani dan mengamalkan Dala’il al–Khairat demi mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam.



[Adi Ahlu Dzikri;

dikutip dari Majalah Manhaj, terbitan PP. Darul Falah]

Dan dari Sumber lain.
Baca selengkapnya

Thursday, July 26, 2018

Alaá Bidzikrillaáhi Tathmainnul Quluúb


: mengingatMu aku syahdu

dalam tiap hela aku sering lupa
dalam tiap kedip aku terlena
pada keutuhan jiwa
hingga aku sering terseok kemana-mana

dalam duduk, jongkok hingga tergeletak
nafsu dan birahi sering tak terpetak

hingga hati yang terlahir sebagai fitrah murni
tercerabut berkelabut
terlepas menghilang lepas

bagaimana tercipta ketenangan
kalau mengingatmu saja aku sering menghilang

Sempalwadak, 14 Dzulqo'dah 1439 H

Baca selengkapnya

Tuesday, July 17, 2018

KH. Hasan Anwar, Karib Muassis NU Kelahiran Demak

Namanya mungkin tidak seterkenal KH Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, dan KH Wahab Chasbullah. Tapi, kiprahnya sangat dekat dengan ketiga tokoh pendiri atau muassis NU. Ia adalah teman sekaligus santri dari ketiga ulama besar tersebut.
Ia mempunyai andil sangat besar dalam membantu mendirikan jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dan namanya hingga kini, sangat harum di Kabupaten Grobogan, Jateng. Nama kecilnya adalah Sarman.
Beliau dilahirkan pada tahun 1878 M, dari pasangan Syarif dan Salimah, petani kecil di Desa Ngluwuk, Dempet, Kabupaten Demak. Sarman memiliki empat orang saudara, yakni Sukir, Mataham, Sagirah, dan Sijah. Sarman merupakan nama pemberian kedua orang tuanya.
Namun, saat mondok di Tebuireng, namanya berubah menjadi Hasan Anwar. Nama itu diberikan langsung oleh Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari atas bantuannya dalam menghadapi para perusuh di sekitar pesantren.
Bela Mbah Hasyim
Awalnya, ia merasa prihatin yang mendalam atas banyaknya hinaan dan ejekan yang diterima KH Hasyim Asy’ari. Sebab, hampir setiap saat ulama pendiri jamiyah NU itu dilempari dengan kotoran manusia. Jalan-jalan di sekitar Pesantren Tebuireng selalu dipenuhi dengan duri.
Atas hal itu, Sarman memberanikan diri memohon izin kepada KH Hasyim Asy’ari untuk menghadapi para perusuh itu. Namun Mbah Hastim tidak mengizinkan. Ia pun bersabar dan menunggu perintah atau izin.
Apa hendak dikata, saat izin belum juga diberikan dan kondisi terus genting, terjadilah peristiwa yang membuat Sarman marah. Saat malam hari, ia keluar asrama pesantren untuk ke masjid.
Jalan yang akan dilewati Mbah Hasyim ia bersihkan. Saat itulah sekelompok preman dan perusuh menantang dirinya. Maka, dengan prinsip ‘lawan jangan dicari, dan kalau ketemu musuh maka jangan lari’, ia pun melawan perusuh.
Dalam perkelahian itu, sebanyak 12 orang perusuh tewas di tangannya. KH Hasyim yang kaget mendengar kegaduhan di luar, segera menemui. Mbah Hasyim mendapati tubuh Sarman bersimbah darah, dan sebanyak 12 orang tergeletak tak bernyawa di sekelilingnya.
Sarman tidak terluka. Hanya luka-luka dari perusuh itulah yang membuat tubuhnya berlumuran darah. Sarman menyampaikan bahwa dirinya membela diri, karena sedang membersihkan kotoran manusia dan duri di sepanjang jalan, dan tiba-tiba diajak berkelahi para perusuh.
Nama Hasan Anwar
Menyaksikan hal itu, KH Hasyim Asy’ari kemudian memerintahkan para santri untuk segera menguburkan jenazah para perusuh dalam satu lubang. Dan sejak kejadian tersebut, Mbah Hasyim menjuluki dan memberinya nama Hasan Anwar, yang berarti lelaki yang baik hati dan selalu bercahaya dalam kegelapan.
Ia adalah santri generasi pertama di Tebuireng. Hasan Anwar juga berteman baik dengan Maksum (KH Maksum), pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, Jateng. Di Tebuireng, ia belajar berbagai ilmu pengetahuan agama, mulai dari fiqih, tafsir, nahwu, dan lainnya.
Namun, di saat KH Hasyim berhalangan, dirinya menjadi badal (pengganti) untuk mengajar santri dan rekan-rekannya. Sebelum mondok dan membantu di Pesantren Tebuireng, Hasan Anwar mondok di berbagai pesantren di Jawa Tengah.
Karena itu, tak heran ia banyak dimintai bantuan KH Hasyim Asy’ari, termasuk saat mendirikan NU pada 31 Januari 1926. Ia tinggal di Tebuireng selama beberapa tahun. Selepas dari pesantren legendaris tersebut, Hasan Anwar melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Jesromo Lumajang, dan Cempaka di Surabaya di bawah asuhan KH Manshur.
Selepas dari kedua pesantren itu, Hasan Anwar meneruskan ke Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, yang diasuh KH Kholil. Tak kurang dari delapan tahun ia menuntut ilmu dan mengabdi di pesantren Bangkalan ini. Setelah itu, ia meneruskan pendidikan di Makkah, selama lebih kurang tiga tahun.
Belajar di Tanah Suci
Di kota suci tersebut ia belajar langsung kepada para ulama terkenal dari Indonesia yang menjadi guru di Masjidil Haram, seperti Syekh Abdullah Sunkara, Syekh Ibrahim al-Huzaimi dan Syekh Manshur. Setelah dirasa cukup, ia pun kembali ke Tanah Air, ke kampung halamannya di Desa Ngluwak, Dempet, Demak.
Ternyata ayahandanya sudah wafat, sedangkan ibunya ikut dengan saudara kandung Hasan Anwar yang menikah dengan warga Gubug, Purwodadi, Grobogan. Di Gubug ini, KH Hasan Anwar membantu Kiai Jalil (Jalal) untuk mengajar mengaji warga sekitar di mushala, tepatnya di sebalah timur Pasar Gubug.
Melihat ketekunan KH Hasan Anwar dalam mengajar mengaji, Kiai Jalil berkenan mengambil menjadi menantu. Ia pun menikah dengan salah seorang putri Kiai Jalil. Hingga akhir hayatnya, KH Hasan Anwar menikah dengan tiga orang istri, yakni Kalimah binti Kiai Marwi, Maemunah binti Kiai Samsuri, dan Muntamah binti Kiai Abdul Jalil (Jalal).
Pernikahannya dengan Kalimah tidak dikaruniai anak, sedangkan dengan Maemunah memiliki tujuh orang putra-putri (Mahfudhoh, Mansuron, Sarijah, Ruqoyah, Saerozi, Juned, dan Romlah). Adapun buah pernikahan dengan Muntamah mendapat empat putra-putri, yakni Ahmad Syahid (yang kelak menjadi penerus perjuangan KH. Hasan Anwar), Zaenudin, Khumaidi, dan Saidah.
Pejuang Kemerdekaan
Kebencian KH Hasan Anwar terhadap penjajah Belanda sudah memuncak. Ia tak tahan melihat rakyat Indonesia dihina dan dijajah. Bersama para santri di Gubug, ia menyerang Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, khususnya di Grobogan.
Belanda yang mengetahui maksud tersebut berusaha membujuk dan bekerja sama. Ajakan itu ditolak, dan Belanda pun marah. Mereka ingin menjeblos KH Hasan Anwar ke penjara. Karena tahu kalau dirinya akan ditangkap Belanda, ia pergi ke pesantren di daerah Klambu.
Bersama sejumlah santri dan laskar fi sabilillah, KH Hasan Anwar menyusun kekuatan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Ratusan pasukan Belanda terbunuh.
Sayang, kekuatan tidak seimbang. Pertempuran yang terjadi di dekat markas Belanda itu, beliau gugur bersama 19 orang laskar fi sabilillah. Beliau wafat sebagai syuhada dengan menyungging senyum.
Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahi dengan gelar Pahlawan Pejuang Kemerdekaan. Namanya sangat harum hingga saat ini. Masyarakat Tionghoa di sekitar Gubug sangat mengagumi ketokohannya. Sebab, atas jasanya, warga Tionghoa merasakan hidup damai dan tenteram dari gangguan perampok.
Banyak cerita karomah seputar KH Hasan Anwar yang melegenda di Gubug. Konon, ia memiliki harimau. Setiap kali bersilaturahim dengan gurunya, Syekh Ibrahim, harimau itu selalu menyertai. Ia bahkan mengendarai harimau tersebut.
Tak jarang, Syekh Ibrahim mengingatkannya untuk tidak menambatkan harimau itu secara sembarangan, sebab khawatir akan melukai para santri. Namun tak banyak yang melihat harimau itu secara kasat mata. Hanya orang tertentu yang bisa menyaksikan. Wallahu a’lam.


Sumber: www.pwnujatim.or.id
Baca selengkapnya

Thursday, November 30, 2017

Detik-detik Kelahiran Nabi Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam


Telah disebutkan bahwa sesungguhnya pada bulan ke sembilan kehamilan Sayyidah Aminah (Robi'ul-Awwal) saat hari-hari kelahiran Nabi Muhammad saw sudah semakin dekat, Allah Subhanahu Wata'ala semakin melimpahkan bermacam anugerah-Nya kepada Sayyidah Aminah mulai tanggal 1 hingga malam tanggal 12 Robiul-Awwal malam kelahiran Al-Musthofa Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam.

Pada Malam Pertama (ke 1) :
Alloh melimpahkan segala kedamaian dan ketentraman yang luar biasa sehingga Sayyidah Aminah merasakan ketenangan dan kesejukan jiwa yang belum pernah dirasakan sebelumnya.


Baca selengkapnya